"Hari Telah Senja Sayang"
Nun jauh disana di atas kaki bukit, Matahari
semakin merebahkan dirinya ke ufuk Barat, hingga
kemilau sinar kemerah-kemerahan menyilau yang keluar
dari bias sang surya itu, menyinari kaki langit. Laksana taburan emas
diatas mega yang ber arak.
Sementara itu, beberapa anak kecil di pinggiran Kreung Cunda, Lhokseumawe,
larut dalam kesibukannya, diantara lumpur dan air di sungai yang telah surut
itu. Anak-anak ini adalah menunggui orang tua
mereka yang sedang mencari tiram di sungai ini. Mereka berlari –lari
kecil dan bercengkrama dengan sesamanya, sambil sesekali tangan kecilnya
menyodok lumpur, seperti mencari sesuatu.
Anak-anak bertelanjang dada dan berkulit hitam ini tampak bahagia
sekali, hanya dengan seperti inilah mereka dapat merasakan nikmatnya masa
kecil. Walau sulit untuk merasakan nikmatnya permainan ala modern. Seperti
mereka yang orang tuanya jadi pejabat atau orang terkenal lainnya di kota yang
berjuluk Pero Dollar ini.
Sedangkan orang tua anak-anak yang bermain di tepi sungai, sibuk menyelam
dasar sungai untuk mencari tiram yang dapat digantikan dengan beras, supaya
periuk di rumah mereka dapat mengepul untuk menghidupi keluarganya.
Sementara senja itu, di sejumlah jalanan Kota Lhokseumawe, tampak jalanan
sangat padat oleh kendaraan dengan berbagai jenis. Asap dan raungan suara yang
membahana, yang mengepul dari knalpot kendaraan. Semakin menjadikan kota ini
sibuk dengan dirinya sendiri.
Pusat-pusat jajanan warga, pada senja hari ramai di kerumuni oleh mereka yang ingin merasakan nikmatnya penganan ringan.
Mulai dari yang dijajakan di pinggir jalan dengan gerobak hingga di tempat yang
spesial dengan harga yang khusus pula.
Bagi mereka yang berkantong tebal pada senja seperti ini, menghabiskan
waktunya di kafe-kafe terkenal yang ada di sudut kota yang berpenduduk lebih
kurang 160 Ribu jiwa ini. Deretan kendaraan yang tergolong mewah untuk
ukuran kota kecil ini, semakin menghiasi dandanan wajah kota yang masih banyak
bopengnya di sana sini.
Kembali lagi kepada aktivitas warga di pinggir sungai Cunda tadi, senja
semakin berlalu. Sang surya pun ingin semakin merebahkan dirinya di ufuk barat
untuk segera di selimuti oleh dinginnya malam.
Satu persatu orang tua dari anak-anak ini bergerak bangkit dari air untuk
berbenah pulang. Alunan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an yang di putar dengan
tape recorder, melalui pengeras suara dari beberapa surau terdekat di kota yang
bersyariat ini. Semakin menandakan hari telah senja.
Mereka yang kebanyakan kaum perempuan ini, segera berbenah diri untuk
membawa pulang hasil yang didapat hari itu. Tanpa
di komando anak-anak mereka yang sedari tadi asyik bermain, mulai merapat
kepada orang tuanya masing-masing. seakan orang tua dari anak-anak ini berkata
kepada anaknya, "Hari telah senja sayang, ayo berbenah dirimu kita
akan segera pulang." Nelayan tradisonal yang juga menebar jaring di sungai
ini, mulai merapatkan perahu kecilnya di pinggir sungai.
Kaum-kaum yang termajinalkan perekonomiannya ini berjalan menyusuri jalan,
pulang ke arah rumahnya masing-masing dengan menjinjing sekarung tiram diatas
kepalanya yang beratnya sekitar 40 Kilogram ini, untuk dijual esok harinya.
Begitu juga, hilir mudiknya kendaraan tadi dijalanan mulai berkurang. Di
beberapa tempat telah sepi. Apakah kesepian di waktu seperti ini, hanya sekedar
menghindari waktu Maghrib masih dijalanan atau di sebabkan mau menunaikan salah
satu kewajibannya sebagai umat Islam. Karena
sebentar lagi, Azan Maghrib akan berkumandang sebagai tanda sudah waktunya
untuk bersujud di hadapan Sang Ilahi Rabbi. (Muchlis S.Pd.I)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar