Minggu, 30 Juni 2013

Alur Cerita Angkutan Rakyat Di Lhokseumawe





Ikuti Jaman, Becak Dayung Harus Di Ubah Ke Bermesin

"Tak Ikut, Kalah Saing"

Dulu, mulai tahun 70-an hingga tahun 2000, untuk mengangkut berbagai jenis barang terutama bahan bangunan, banyak yang menggunakan becak dayung. Jenis kendaraan yang dirakit dari sepeda ontel dan diberi rangka lengkap dengan alas lantainya dan menjalankannya pun sepenuhnya tenaga manusia, banyak berseliweran di jalan atau mangkal di depan-depan toko bangunan yang menawarkan jasanya.

Namun, sejak banyaknya penarik becak barang yang menggunakan mesin kendaraan roda dua pada becaknya. Maka secara perlahan-lahan becak barang yang dulunya hanya digerakkan dengan mengayuh ini harus terpinggirkan, karena selain tak sanggup bersaing dengan becak bermesin, juga mempunyai keterbatasan tenaga untuk menggerakkannya.

Akhirnya, para pengguna jasa pun lebih memilih becak pengangkut barang yang bermesin karena lebih cepat sampainya.  

Seperti yang dialami oleh Muhammad Isa (50), salah seorang penarik becak barang dengan konsep becak barang yang masih lama alias belum bermesin. Dirinya, tampak terduduk lesu di atas susunan kayu pada sebuah panglong kayu yang  ada di kawasan Citra, Meunasah Mesjid, Muara Dua, Kota Lhokseumawe, sembari menunggu datangnya orang yang mau memakai jasanya  untuk mengantar barang ketempat tujuan dengan menggunakan becak barangnya.

Sesekali matanya tampak awas memperhatikan setiap orang yang keluar masuk toko bangunan ataupun panglong kayu yang ada dikawasan Citra tersebut. Dengan harapan ada yang mau menggunakan jasanya dengan becak tuanya itu, walau di sekitar kawasan ini ada beberapa becak barang lainnya yang telah sedikit modern, yaitu dengan menggunakan mesin kendaraan roda dua dari jenis apa saja, yang telah dimodifikasikan antara body kendaraan dengan kerangka becak.

Bang Isa, sapaan akrab pria itu mengatakan, “Memang sejak banyaknya becak barang yang menggunakan mesin kendaraan roda dua, pendapatan saya menjadi menurun dratis”, katanya membuka perbincangan.

Alasannya tak lain, karena dirinya punya keterbatasan dan kalah cepat dibandingkan dengan yang menggunakan becak bermesin, karena warga yang mengguna jasa becak barang, lebih memilih menggunakan jasa becak barang yang bermesin. Karena sudah tentu, dengan menggunakan becak bermesin, maka sekali geber gas, barang yang disuruh antar sudah sampai di depan rumah.

Sedangkan sebelumnya, di saat belum ramainya penarik becak barang yang sudah bermesin. Pria itu mampu mengantongi uang sebanyak Delapan Puluh Ribu Rupiah per harinya. Namun sekarang hanya mampu mengatongi uang sebanyak Tiga Puluh Ribu Rupiah saja per harinya. Itupun sudah maksimal sekali. Serta hanya dua trip saja perharinya, bila dibandingkan dulu hingga enam trip mudah didapat, ungkap M.Isa yang mengaku sudah menjalani profesi penarik becak barang selama Tiga Puluh tahun lebih.

Dengan melihat banyaknya becak barang yang telah memodifikasikan  becaknya dengan mesin kendaraan roda dua, secara tidak langsung telah mengurangi pendapatan penarik becak yang masih menggunakan tenaga manusia ini. Apakah hal itu, bisa menjadi sebuah perasaan tersaingi dari penarik becak yang masih berdayung ini.

M.Isa mengaku tidak tersaingi ataupun merasa iri karena sudah ada saingan baru dalam bisnisnya. “Saya tidak iri dengan semua ini, mungkin belum waktunya saja saya untuk memiliki becak bermesin seperti yang dipakai oleh rekan-rekan penarik becak lainnya. Toh! rezeki sudah diatur dari yang Maha Kuasa,” ucapnya singkat menutup pembicaraan karena ada pesanan barang yang harus diantarnya.

Namun, semenjak adanya jenis becak bermesin yang lebih menguntungkan itu. M.Isa, juga berpikir untuk merubah tenaga kendaraannya dari tenaga manusia menjadi tenaga mesin. Agar mampu bersaing dengan rekan-rekannya yang lain. Maka dirinya pun harus mengumpulkan uang dan merogoh kocek lebih dalam untuk membeli sepeda motor bekas. Kini selang beberapa tahun, dirinya juga sudah menunggangi becak mesin dan tenaga kakinya tidak lagi untuk mengayuh dan cukup untuk menginjak pedal rem saja dan untuk menekan perseneling gigi.

Begitulah alur cerita sebuah perubahan dan kemajuan teknologi yang selalu menuntut semua serba cepat dan tidak terlalu melelahkan meski harus ada yang dikorbankan.(MUCHLIS, S.Pd.I)

Mata Pencaharian Masyarakat Di Pedalaman Aceh Utara Saat Musim Pinang Tiba



Tiap Depan Rumah Hamparan Pinang Di Jemur

Daerah perkampungan memang indentik dengan pertanian dan perkebunan. Apa saja yang cocok ditanami, maka hal itu akan menjadi sumber pendapatan bagi warga. Apalagi komoditi yang saban tahun dibutuhkan untuk berbagai keperluan. Mulai kebutuhan industri makanan, farmasi hingga industri lainnya.

Maka tidaklah mengherankan, bila kita berjalan-jalan ke daerah pedesaan yang berhawa sejuk, karena masih rindangnya pepohonan. Maka akan tersuguhkan pemandangan yang tidak kita dapati dikota. Misalnya, di depan tiap rumah penduduk yang rata-rata terbuat dari papan dan masih memakai atap rumbia. Akan terlihat banyak hamparan biji-bijian yang dijemur. Salah satunya adalah biji pinang.

Seperti terlihat disalah satu kawasan pedalaman Aceh Utara, tepatnya di daerah Mbang, Kabupaten Aceh Utara, atau sekitar 20 Kilometer arah Selatan Lhokseumawe.Hampir di tiap depan rumah warga terlihat biji pinang yang sedang di jemur diatas terpal atau apa saja yang dianggap layak.

Hamparan biji pinang baik yang sudah dibelah maupun yang masih utuh merupakan         pemandangan yang lazim didaerah ini. apalagi bila sedang musimnya panen pinang. Maka aktivitas warga pun terkonsentrasi pada salah satu komoditi hasil bumi in, baik orang tua maupun mereka yang masih muda, larut dalam pekerjaannya mengupas kulit pinang.

Dengan sebuah alat khusus yang berbentuk seperti kikir gergaji namun ujungnya berbuntuk pipih atau  tepatnya seperti jarum sepatu,  terlihat tangan-tangan mereka begitu cekatannya mengupas kulit pinang itu. Sementara sebagian yang lainnya membelah pinang dengan sebuah parang kecil.

Contohnya, seperti yang terlihat di depan sebuah rumah di Kampung Jawa Rayeuk di kawasan itu, terlihat beberapa  orang warga tampak sedang sibuk mengupas pinang  didepan rumahnya.  

Salah seorang dari mereka Hasbi (49), kepada penulis selasa (18/4) mengatakan, bahwa hal itu sudah menjadi profesinya sehari-hari didaerah ini bila musim pinang tiba, apalagi bila harga pinang sedikit melonjak dari biasanya bila dibandingkan beberapa waktu lalu.

Mengenai harga pinang antara yang sudah terbelah atau belum, ternyata  mempunyai perbedaan. Disebutkan oleh petani pinang itu, jika yang sudah dibelah harganya agak miring. Yaitu, Rp 4.800 Per Kilogramnya pada masa itu, namun kalau yang tidak dibelah alias masih utuh, harganya sedikit lebih mahal yaitu Rp 6.000 Per Kilogramnya, ujarnya.

 Sementara mengenai pemasaran hasil uasaha mereka. Ternyata para petani di desa-desa yang ada di wilayah pedalaman seperti mereka tidaklah terlalu menjadi persoalan. Pasalnya, setiap hari ada saja pedagang perantara atau Mugee dalam bahasa Aceh yang mendatangi rumah-rumah penduduk untuk membeli hasil pertanian mereka. Mugee-muge itu, dengan mengendarai sepeda motor dengan bakul rotan besar yang diletakkan dibelakang sadel kendaraannya siap menjemput bola.

“Kalau pedagang pengumpul itu, setiap hari selalu lalu lalang datang membelinya”, bahkan dalam satu hari bisa mencapai 20 orang. Jika mengenai masalah pemasarannya, tidak ada masalah, lancar-lancar saja, ucap Hasbi enteng.

Ternyata benar saja apa yang dikatakan oleh pria ini, seorang pria yang tak lain adalah Mugee, dengan mengendarai motor Yamaha RX special jenis lama dengan bakul rotan besar di sadel kendaraannya ditambah dua karung pinang, berhenti tepat didepan rumah Hasbi. Menanyakan apa dijual pinang ini? tanyanya pada Hasbi. Yang kemudian dijawab Hasbi, “Menyoe cocok yum pu salah” (kalau cocok harganya apa salah-red), ucap Hasbi dengan enteng juga.

Sejenak tawar menawar harga diantara mereka, agen pinang itu pun menawarkan dengan harga terendah untuk membeli pinang-pinang itu, sementara Hasbi pun mempertahankan pada kisaran harga tertinggi menurut pasaran saat ini. sehingga entah kenapa karena tidak cocok harganya, pria inipun sulit melepaskan pinang untuk dibeli oleh agen pinang tadi.

Ungkapnya petani pinang itu lagi, “Kalau harganya dianggap pantas dan sesuai baru kita jual, namun kalau tidak sesuai kita tunggu saja datang agen pinang yang lain membelinya. Karena harga pinang ini bersifat pasaran. Terkadang menjadi mahal namun ada juga turun harganya. Harganya murah pada saat sedang banyaknya pinang yang dipanen warga, sementara kalau sedang tidak musim harga pinang pun menjadi anjlok turun”.

Sambungnya lagi, pinang ini tidak selalu berbuah, dalam sebulan hanya bisa dua kali petik saja, paling-paling dapat sekitar 50 Kilogram untuk sekali petik. Sedangkan kita hanya punya sehektar kebun pinang saja.

Sementara untuk para pekerja baik membelah serta mengupas pinang ini dikerjakan secara bersama-sama dengan anak istri  dirumah. Ini merupakan pekerjaan sambilan saja,  Karena pekerjaan pokok adalah menjadi penderes karet pada PT.Satya Agung, dengan upah perkilogramnya Dua Ribu Rupiah,   tukasnya lagi sembari tersenyum.


Sudah menjadi pemandangan sehari-hari didaerah pedalaman bila sedang musim pinang  yang mana didepan rumahnya ada aktivitas mengupas kulit pinang dan hamparan pinang yang dijemur.  Namun, ada yang menarik juga dari pemandangan rumah-rumah penduduk di wilayah pedalaman. Bagi mereka yang mempunyai lahan yang ada tanaman produksi. Meski beratapkan daun rumbia, namun diatasnya rata-rata terlihat antena parabola yang menyembul. Sehingga, berbagai informasi dan juga hiburan yang ditawarkan oleh stasiun televisi dapat diakses oleh mereka.

Sudah pasti pula, dengan adanya hasil kebun yang mereka dapat, perekonomian  mereka juga meningkat. Sehingga mampu membeli parabola dan kebutuhan hidup lainnya.(MUCHLIS S.PdI)


Minggu, 16 Juni 2013

Melihat Komoditi Cabai Merah Sebagai Penyebab Inflasi Tertinggi di Lhokseumawe



Bulan Mei Lhokseumawe Alami Inflasi Tertinggi Se Sumatera



Komoditi cabai merah, memegang rekor tertinggi pemicu inflasi di Kota Lhokseumawe. Bahkan, angka inflasi pada bulan Mei 2013 lalu, Kota Lhokseumawe menunjukkan angka tertinggi inflasinya se pulau Sumatera, yaitu mencapai 0.88 Persen.

Hasil tersebut diperoleh dari pemantauan harga yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Lhokseumawe. dimana pada kelompok pengeluaran bahan makanan kenaikan indeks harga konsumen (IHK) mencapai 2.47 Persen. Pada sub kelompok pengeluaran bumbu-bumbuan (cabai merah) angkanya sungguh fantastis dibandingkan dengan yang lainnya, yaitu 80.19 Persen.

Kepala BPS Kota Lhokseumawe Mughlisuddin, SE, di Lhokseumawe mengatakan,  berdasarkan Survey Biaya Hidup (SBH) tahun 2007 hingga tahun 2013 ini, angka kenaikan IHK cabai merah terjadi hingga 335.10 persen.

Itu artinya setiap tahun angka IHK untuk komoditi cabai merah di Kota Lhokseumawe  selalu melonjak tinggi dibandingkan dengan jenis komoditi lainnya yang sejenis untuk katogeri bumbu-bumbuan.

Seperti dikatakan olehnya, inflasi 0.88 Persen pada bulan Mei 2013 sangat dipengaruhi oleh perubahan harga indeks yang dipicu oleh kenaikan harga pada beberapa kelompok pengeluaran. Terutama untuk jenis bumbu dapur seperti cabai merah.

Berdasarkan data yang dihimpun pihaknya, lanjut Mughlisuddin, hampir semua kelompok pengeluaran mengalami kenaikan. Sebagaimana dengan kelompok bahan makanan kenaikannya 2.47 Persen, diikuti oleh kelompok perumahan, air dan listrik 0.43 Persen, pendidikan, rekreasi dan olah raga 0.28 persen, kelompok kesehatan 0.08 persen, transportasi 0.02 Persen, kelompok makanan jadi 0.01 Persen. Namun hanya, kelompok sandang masih mengalami penurunan indeks sebesar -0.89 persen, ujar Mughlisuddin.

“Namun, penyumbang terbesar terhadap kenaikan angka inflasi pada bulan Mei lalu adalah pada sub kelompok pengeluaran bahan makanan bumbu dapur, yaitu cabai merah”, ujarnya. 

Akibat tingginya angka inflasi tersebut di Kota Lhokseumawe, berdasarkan pantauan perubahan harga barang oleh BPS secara nasional, menetapkan Kota Lhokseumawe sebagai kota yang tertinggi angka inflasinya di Pulau Sumatera dan urutan kota ke empat secara nasional.  

Minimnya Stok Dipasaran
Kembali kepada penyebab tingginya angka inflasi di Kota Lhokseumawe yang diakibatkan oleh melonjaknya harga cabai dipasaran, dibenarkan oleh salah seorang pedagang cabai merah di Lhokseumawe.

Ade, salah seorang pedagang mengatakan, bahwa harga cabai merah begitu melonjak pada bulan Mei. Hal itu disebabkan oleh minimnya stok cabai merah yang diterima oleh pedagang dari sejumlah daerah produsen.
Sementara pasokan cabai merah untuk Kota Lhokseumawe, banyak dipasok dari Aceh Pidie, Pidie Jaya, Aceh Tengah, Bener Meriah dan Bireun serta dari Berastagi Sumatera Utara. Namun, dalam sebulan terakhir, pasokan cabai merah sangat minim, yang membuat harganya melonjak tinggi dipasaran. 

Namun dalam kurun waktu sebulan terakhir itu pula, pasokan cabai merah sangat minim yang diterima oleh pedagang grosir dan eceran. Bahkan berdasarkan pantauan wartawan, harga cabai merah melonjak secara stagnasi mulai dari harga Rp20.000 hingga mencapai Rp48.000 pada akhir Mei.

Sedangkan permintaan cabai merah di Lhokseumawe selalu meningkat. Hal itu selain untuk kebutuhan bumbu dapur, juga ditambah dengan semakin perkembangan pesat usaha rumah makan dan restoran di Kota Lhokseumawe yang membutuhkan cabai merah sebagai salah satu bahan baku masakan.(Muchlis S.PdI)



Kamis, 13 Juni 2013



Moga Tulisan saya tentang upaya konservasi hutan ini yang pernah dimuat di Tabloid POS ACEH pada edisi Januari, dapat bermanfaat sebagai upaya kita menjaga hutan dari kerusakan.

KONSERVASI HUTAN DENGAN MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT PINGGIRAN HUTAN

"MENJAGA HUTAN DENGAN  LEBAH MADU"

Menjaga hutan dengan lebah madu, memang membuat kita tersentak mendengarnya. Apakah bisa lebah diharapkan dapat menjaga hutan dari pengrusakan dan terhindar dari jamahan tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan.

Namun hal itulah yang sedang diusahakan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Utara melalui Dinas Perkebunan dan Kehutanan setempat.  Lantas timbul pertanyaan, bagaimana caranya Lebah madu diharapkan dapat menjaga hutan di wilayah itu?

Kabid Kehutanan pada Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Utara M.Ikhwan, kepada POS ACEH, Selasa, (22/1), diruang kerjanya mengatakan,  lebah madu dimaksud adalah upaya budidaya lebah madu kepada masyarakat pinggiran hutan. Sehingga dengan adanya aktivitas tersebut, masyarakat yang bermukim dipinggiran hutan mempunyai kesibukan baru dalam melakoni mata pencaharainnya, katanya.

Bagaimana tidak, madu yang dihasilkan oleh lebah memiliki nilai tawar yang tinggi dipasaran. Utama lagi madu asli yang diyakini sangat berkhasiat untuk obat-obatan dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. 

Kontan saja dengan harganya yang menggairahkan, membuat masyarakat atau petani lebah, begitu terobsesi dengan peluang tersebut. sehingga menjadi suatu lahan usaha yang menjanjikan untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Lalu, bagaimana hubungan antara menjaga hutan dengan dengan lebah madu. Ikhwan kembali menjelaskan, bahwa sebagaimana dimaksudkan diatas, bahwa dengan adanya aktivitas tersebut, masyarakat dengan sendirinya akan menjaga kawasan hutan disekitarnya dengan baik.

Karena sebagaimana diketahui pula, untuk dapat lebih membuat lebah betah dan semakin berproduksi, maka kawasan hutan dan tanaman serta pepohonan disekitar hutan harus selalu dijaga. Karena minim dan banyaknya tanaman disekitar hutan begitu berpengaruh terhadap produktivitas lebah.
Jadi, secara langsung masyarakat  yang sebelumnya banyak mengantungkan hidupnya dari hutan dengan membuka lahan secara sembarangan, aktivitas penebangan liar. Namun dengan adanya jenis usaha budidaya lebah madu, maka menjaga kelestarian hutan merupakan suatu keharusan bagi masyarakat jika ingin madu dapat terus menghasilkan.

Terhadap program budidaya lebah madu, pihaknya lanjut Kabid Kehutanan pada Disbuthun Aceh Utara, sudah membina kelompok tani di kawasan Kecamatan Nisam dan kecamatan Bandar Baru sebagai salah satu kecamatan yang terletak dekat dengan kawasan pinggiran hutan. Yaitu dengan memberikan bantuan stup (rumah lebah), koloni lebah dan berbagai perlengkapan lainnya yang dibutuhkan oleh petani lebah.

“Kami sangat terobsesi dengan program seperti ini bisa berhasil. karena dengan anggaran yang tidak begitu wah, namun memiliki dampak besar terhadap kelestarian lingkungan hutan,” ucap Ikhwan.

Terhadap pengembangan budidaya tersebut, pada Naggaran Pendapatan Belanja Kabupaten Aceh Utara  tahun 2013, pihaknya memprogramkan sebanyak 10 Hektare tanaman Caliandra. Yaitu sejenis tanaman yang berbungan sepanjang tahun sehingga menjadi pakan bagi lebah. 

Tanaman tersebut akan diberikan kepada masyarakat petani lebah yang ada di pinggir hutan untuk dapat ditanami pada lahan-lahan kosong serta pinggiran hutan. Dengan harapan agar lebah dapat lebih berkembang biak dan berproduksi banyak. Sehingga gairah petani lebah akan semakin meningkat dengan banyaknya lebah yang menghasilkan. 

Bahkan, ungkap Ikhwan lagi, kedepan pihaknya akan mengupayakan agar seluruh pinggiran kawasan hutan di Aceh Utara, masyarakatnya diajak membudidayakan lebah. Sehingga hasil yang diharapkan, selain dapat menambah pendapatan masyarakat pinggiran hutan, juga alam dapat terus hijau dan kelestarian hutan dapat terus terjaga. (MUCHLIS S.Pd.I)