Sabtu, 03 Agustus 2013

Tuk Buah Hatiku...

RENUNGAN BUNDA TENTANG AYAH
 

Anakku....

Memang ayah tak mengandungmu,

tα̇pi darahnya mengalir didarahmu, namanya melekat dinamamu...

Memang ayah tak melahirkanmu,

tapi suaranya-lah yang pertama mengantarkanmu pada Tauhid ketika kau lahir...

Memang ayah tak menyusuimu,

tapi dari keringatnyalah setiap tetesan yang menjadi air susumu...

Nak...

Ayah memang tak menjagaimu setiap saat,

tapi tahukah kau dalam do'anya selalu ada namamu disebutnya...

Tangisan ayah mungkin tak pernah kau dengar karena dia ingin terlihat kuat agar kau tak ragu untuk berlindung di lengannya dan dadanya ketika kau merasa tak aman...

Pelukan ayahmu mungkin tak sehangat dan seerat bunda, karena kecintaannya dia takut tak sanggup melepaskanmu...

Dia ingin kau mandiri, agar ketika kami tiada kau sanggup menghadapi semua sendiri...

Jauh didalam hatinya dia hanya ingin mampu membanggakanmu di mata Rasulullah, menjadi penolong di Padang Mahsyar serta menJãϑi hijab dari api neraka..

Bunda hanya ingin kau tahu nak...

bahwa...

Cinta ayah kepadamu sama besarnya dengan cinta bunda...

Dalam Hadist disampaikan, bahwa Rasullullah SAW :

"Jagalah selalu kecintaan dari ayahmu dan janganlah engkau memutuskannya, karena yang demikian lalu Allah SWT akan memadamkan cahaya dari padamu" (HR. Bukhari)

Anakku...

Jadi didirinya juga terdapat surga bagimu... Maka hormati dan sayangi ayahmu...

Kala Mengenang Pantai Meuraksa....



Yang Tersisa Hanya Ranting Kayu Dengan Nelayan Kecil 

Tulisan ini, saya tulis saat mengenang kisah lama, kala saya berkunjung ke pantai Meuraksa, Lhokseumawe, tidak lama setelah musibah tsunami terjadi. Banyak pemandangan yang saya lihat saat itu dan saya nukilkan dalam catatan sederhana ini. Semoga dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk terus dapat menjaga lingkungan alam.

Pantai Meuraksa, yang terletak diujung utara Kecamatan Blang Mangat, Kota  Lhokseumawe, bisa dikatakan masih perawan di Kota bekas Petro Dollar ini, walau pantai ini jarang di datangi oleh warga ,namun pesonanya begitu terlihat, karena selain bersih juga rindang juga masih di tumbuhi oleh berbagai pepohonan pantai.

Bibir pantai indah yang di penuhi oleh pohon Waru pada
pasir putih bersih, serta di selingi oleh batang ketapang yang melambai-lambaikan daunnya di kala angin laut berhembus, seakan-akan memanggil sang pelaut untuk berteduh di bawahnya yang menawarkan keteduhan di kala matahari terik.

Dengan diselingi oleh aktifitas sebagian nelayan tradisional yang sibuk mengurus hasil tangkapannya dengan perahu kecil pada pantai yang masih perawan itu, lengkaplah sudah nuansa bibir pantai indah.

begitu juga dengan hamparan Pasir putih dengan gundukan-gundukan kecil tak terasa trelah menghadirkan suasana eksotis, di pantai yang berhadapan langsung dengan Selat malaka itu. Seakan  menjadi daya tarik tersendiri bagi yang pernah singgah di tempat ini.

Namun, kini di pantai itu tidak ada lagi lambaian manis daun Ketapang atau daun Waru ataupun bunyi kresek rumpun bambu,semua telah lenyap di hempas ombak raksasa pada 26 Desember lalu.

Namun  yang tersisa hanyalah ranting kayu yang bungkuk rebah ke pasir serta pemandangan perahu yang rusak dan terseok di pinggiran pantai. Begitu juga dengan nelayan, hanya terlihat sejumlah kecil saja mereka.dengan  peralatan tradisional dan seadanya mencoba untuk bangkit kembali.

Namun, masih ada seutas senyuman di pantai itu. Yaitu, saat melihat anak-anak nelayan yang terlihat gembira dan bermain ke sana kemari dengan bertelanjang dada di antara terik matahari yang menyengat kulit.

Seorang warga sekitar pantai ini, mengatakan, bahwa dulunya sebelum Tsunami, permukaan
pantai ini tidak seperti ini, disini banyak tumbuh pohon Waru, tetapi setelah Tsunami semua jadi berubah, pohon-pohon yang dulunya indah serta rindang, kini semua pada mati dan hanya tinggal rantingnya saja, itulah kuasa Tuhan, kapan saat di beri dan kapan lagi saat di ambil, kita semua tidak pernah tahu, ujarnya.

Serombongan pengurus Bulan Sabit Merah (BSM) Malaysia, yang mendatangi pinggir pantai ini, untuk meresmikan bantuannya kepada warga yang di timpa musibah Tsunami
di daerah i
tu juga terpesona. Meski hanya tinggal bekasnya saja.

Malah  beberapa orang di antara mereka sempat bercoloteh “Indah sangat, tapi dah teruk pinggirnya”, tak ayal,jepretan kamera dari beberapa wartawan asal negeri  jiran itupun di tujukan ke arah pantai ini. Karena dalam rombongan itu juga ada di ikutkan beberapa wartawan seperti dari Koran Utusan Malaysia dan lain-lainnya.

Kini pantai di bibir selat malaka i
tu dengan gulungan ombak kecil masih terus beriak tenang. Sekarang hanya menyisakan kenangan indah, tentang pesonanya dan tawa kecil anak nelayan serta hiasan pepohonan yang rindang di pasir putih bersih, semua berjalan sebagaimana kehendak sang Khalik, tentu ada hikmah terbesar dari semua kejadian ini.(Muchlis*)

Jumat, 02 Agustus 2013

Mesjid Tua Yang Terabaikan Sejarahnya

"Di Pugar, Agar Terpelihara Sejarahnya"

Pada suatu tempat  di kawasan Gampong Mns.Mesjid, Muara Dua, Kota Lhoksewumawe, tepatnya, terletak di tengah-tengah desa yang berpenduduk lebih kurang 8.000 jiwa itu. Ada sebuah kawasan yang konon dulunya didaerah tersebut, merupakan sebuah daerah yang maju,yang banyak di jadikan tempat persinggahan para pedagang dari berbagai daerah pada masa lalu.

Dengan sungai yang membentang dari Kuala Meuraksa hingga ke arah Ujong Blang, Kecamatan  Banda Sakti, yang sekarang terlihat daerah tersebut sudah menjadi pertambakan warga sekitar, di tambah lagi di lalui oleh sebuah anak sungai, yang airnya dari arah
perbukitan sekitarnya menuju ke sungai Cunda, Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Menambah kemajuan akan kota masa lalu yang indentik di pinggir perairan.

Nah, untuk menandakan ada sebuah pusat keramaian pada masa lalu,
di daerah tersebut ada sebuah bangunan mesdjid tua yang kini hanya tinggal bekasnya saja. Yaitu, berupa bangunan beton dengan dua tingkat yang mempunyai tinggi sekitar dua meter.

Bangunan tersebut berbentuk kubus yang mempunyai ukuran sekitar 15 X 15 Meter persegi, dengan ruang di tengahnya, seperti bentuk sebuah benteng pertahanan pada masa lalu.

Tetapi sangat di sayangkan tiada sebuah catatan sejarah pun tentang keberadaan mesjid tersebut, kapan dibangun dan pada masa siapa.
Saat ditanyakan kepada beberapa warga sekitar yang sudah berusia lanjut, tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan mesjid tersebut di bangun, rata-rata mereka menjawab,bangunan mesjid tersebut sudah demikian adanya sejak dari saya lahir, jawab mereka.

Konon Mesjid tersebut, mempunyai satu tiang utama dengan ukuran besar di tambah dengan tiang-tiang kecil, serta kabarkan bahwa puncak  mesjid tersebut berbentuk sebuah belanga besi, yang di kenal dalam bahasa Aceh dengan nama Beulangeung Beuso, yang menjadi puncak atau kubahnya.

Namun ada yang mengatakan bahwa bentuk mesjid tersebut, lebih mirip dengan mesjid lama, yang ada di daerah Beuracan Mereudu Aceh Pidie. Yang di kenal dengan nama Mesjid Madinah. Tetapi tidak ada yang tahu secara pasti apa nama mesjid yang hanya tinggal bekasnya saja ini. 

Bila kita melihat dari bahan bangunan yang di gunakan, yang hanya terbuat dari susunan batu karang tebal dan di plaster itu serta mempunyai pintu masuk ukuran kecil, dengan ruang di tengahnya yang agak menurun kebawah, yang lebih mirip seperti benteng ini merupakan bangunan ciri khas suatu zaman di mana banyak terjadi peperangan pada masa tersebut.
Konon juga bahwa mesjid tersebut pernah di renovasi kembali pada masa lalu
.

Masih di dalam komplek mesjid tersebut ada  sebuah bangunan Meunasah (surau). Yang juga  bangunan lama, walaupun  tidak se tua mesjid tua ini, namun bangunan meunasah tersebut masih utuh dan papan alasnya masih kuat, serta pernah di jadikan balai pengajian oleh warga, maka tidak salah, apabila nama desa di daerah ini di namakan Meunasah Mesjid, karena di samping Mesjid ada Meunasah.

Drs.Tgk.Zulkifli Ibrahim, Imum syik Mesjid Al Hikmah Cunda kepada wartawan Koran ini mengatakan, bahwa cikal bakal mesjid Alhikmah Cunda adalah dari mesjid tua ini, karena jumlah jamaah makin banyak, dan tidak memungkinkan lagi menampung jamaah shalat, maka di pindahkan ke mesjid ini, mengenai tahun di pindahkannya mesjid ini sudah tidak ingat lagi, akunya.

Kini lokasi tempat berdirinya mesjid tersebut merupakan sebuah komplek pekuburan warga sekitar, tetapi anehnya ada beberapa kuburan yang dekat dengan tembok bangunan mesjid tersebut batu nisannya, (batu kali) berukuran lebih besar dari nisan lainnya.

Sangat di sayangkan
memang, bila Mesjid yang terletak di wilayah pemko Lhokseumawe ini kurang di ketahui sejarah dan keberadaanya masyarakat luar, bahkan yang lebih menyedihkan lagi, selama ini tidak ada perhatian dari pihak yang berkompeten, dalam hal ini pemerintah Pemko Lhokseumawe atau Dinas teknisnya. 

Mungkin juga mereka tidak pernah tahu, bahwa di daerahnya ada sebuah situs bersejarah di daerahnya, karena di disibukkan oleh program-program pembangunan ke depan. Sehingga lupa pada bangunan masa lalu, yang telah mengantar bangsa ini pada kemajuan.Padahal ini merupakan asset daerah yang sangat berharga jika dinilai sejarah, serta merupakan titipan anak cucu kita ke depan.(Muchlis*)     

Senin, 22 Juli 2013

Catatanku....dikotaku ...



Nelayan Tua Dengan Perahu Sederhana 

Walau Tua Semangat Tetap Membara




Laut menderu di siang hari, angin berhembus dengan
dengan sepoi-sepoi menerpa rambutnya yang memutih, tersenyum puas pria mandiri dengan sebatang rokok kretek terselip di bibir, menikmati puasnya hidup di tengah riak gelombang laut, yang selama ini di lakoninya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Inilah sosok hidup pak Amin
, pria ujur yang telah berusia 65 tahun itu, merupakan seorang warga gampong Uten Kot, Kecamatan Muara Dua, Kota lhokseumawe, yang sehari-hari berprofesi sebagai nelayan tradisional dengan perahu pancing sederhana miliknya.

Dengan perahu itu pula dirinya mengantungkan hidup dari hasil melaut. Di balik wajah yang mulai keriput di makan usia, namun tampak semangat yang membara untuk terus
berjuang hidup.

Mata pak Amin menerawang jauh menatap hamparan air yang beriak tenang, sambil menarik rokoknya dalam-dalam, pak Amin mulai bercerita tentang kisahnya melaut.

Setiap pagi saya berangkat dari rumah, pagi-pagi sekali saya sudah berangkat melaut dan pulangnya pada saat akan menjelang sore hari, rutinitas seperti itu sudah saban hari saya jalani, kecuali hari Jum’at,baru tidak melaut, katanya.

Mengenai makan siang, jelas tidak ada, tetapi saya
selalu membawa bekal dari rumah yaitu, sekantong kopi dan beberapa potongan kue, hal inilah yang menganjal perut saya di tengah laut, “Mana ada jual nasi di tengah laut” ucapnya sambil terkekeh.

Kalau soal kondisi kesehatan, pak Amin mengakui, bahwa
selama ini tidak ada penyakit yang terlalu berat,hanya penyakit ringan saja seperti, sakit kepala saja
dan itu biasa, tetapi bila tidak bekerja atau melaut rasanya tidak enak badan, ungkapnya.

saat ditanyakan,apakah pernah tersesat di tengah laut, pak Amin kembali menjelaskan, kita berpedoman pada arah mata angin dan bintang dilangit pada malam hari, untuk pulang kearah ini (Lhokseumawe)kita mengikuti bintang barat dan untuk menandakan banyak ikannya kita harus melihat dari warna air, bila airnya tampak berwarna kehijaun itu menandakan banyak ikannya, tetapi bila airnya bening dan biasa saja itu berarti tidak ada ikannya,  ujarnya  menjelaskan

Mengenai hasil yang di dapatkan dari melaut ini, “Glah
keu bu “ (cukup untuk makan sehari-hari-red), sekitar
Rp 25.000 atau 35.000 dalam sehari-hari, yang penting
asap dapur tetap mengepul, karena kita pun hanya mengandalkan perahu pancing saja, berapa lah hasilnya,
ulasnya.

Beginilah hidup, apabila kita menjalani dengan senang
hati dan ikhlas maka tidak terasa beban apa-apa,ungkap  pak Amin berfilsafat, menutup cerita, sambil
menikmati rokok kreteknya dalam-dalam seakan-akan terpancar raut kegembiraan di hatinya dalam melakoni peran hidupnya sebagai nelayan tua dengan perahu sederhana.(Muchlis S.Pd.I)