Sabtu, 03 Agustus 2013
Kala Mengenang Pantai Meuraksa....
Yang Tersisa Hanya Ranting Kayu Dengan Nelayan Kecil
Tulisan ini, saya tulis saat mengenang kisah lama, kala saya berkunjung ke pantai Meuraksa, Lhokseumawe, tidak lama setelah musibah tsunami terjadi. Banyak pemandangan yang saya lihat saat itu dan saya nukilkan dalam catatan sederhana ini. Semoga dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk terus dapat menjaga lingkungan alam.
Pantai Meuraksa, yang terletak diujung utara Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe, bisa dikatakan masih perawan di Kota bekas Petro Dollar ini, walau pantai ini jarang di datangi oleh warga ,namun pesonanya begitu terlihat, karena selain bersih juga rindang juga masih di tumbuhi oleh berbagai pepohonan pantai.
Bibir pantai indah yang di penuhi oleh pohon Waru pada
pasir putih bersih, serta di selingi oleh batang ketapang yang melambai-lambaikan daunnya di kala angin laut berhembus, seakan-akan memanggil sang pelaut untuk berteduh di bawahnya yang menawarkan keteduhan di kala matahari terik.
Dengan diselingi oleh aktifitas sebagian nelayan tradisional
yang sibuk mengurus hasil tangkapannya dengan perahu kecil pada pantai yang
masih perawan itu, lengkaplah sudah nuansa bibir pantai indah.
begitu juga dengan hamparan Pasir putih dengan gundukan-gundukan kecil tak terasa trelah menghadirkan suasana eksotis, di pantai yang berhadapan langsung dengan Selat malaka itu. Seakan menjadi daya tarik tersendiri bagi yang pernah singgah di tempat ini.
begitu juga dengan hamparan Pasir putih dengan gundukan-gundukan kecil tak terasa trelah menghadirkan suasana eksotis, di pantai yang berhadapan langsung dengan Selat malaka itu. Seakan menjadi daya tarik tersendiri bagi yang pernah singgah di tempat ini.
Namun, kini di pantai itu tidak ada lagi lambaian manis daun Ketapang atau daun Waru ataupun bunyi kresek
rumpun bambu,semua telah lenyap di hempas ombak raksasa pada 26 Desember lalu.
Namun yang tersisa hanyalah ranting kayu yang bungkuk rebah ke pasir serta pemandangan perahu yang rusak dan terseok di pinggiran pantai. Begitu juga dengan nelayan, hanya terlihat sejumlah kecil saja mereka.dengan peralatan tradisional dan seadanya mencoba untuk bangkit kembali.
Namun yang tersisa hanyalah ranting kayu yang bungkuk rebah ke pasir serta pemandangan perahu yang rusak dan terseok di pinggiran pantai. Begitu juga dengan nelayan, hanya terlihat sejumlah kecil saja mereka.dengan peralatan tradisional dan seadanya mencoba untuk bangkit kembali.
Namun, masih ada seutas senyuman di pantai itu. Yaitu, saat
melihat anak-anak nelayan yang terlihat gembira dan bermain ke sana kemari
dengan bertelanjang dada di antara terik matahari yang menyengat kulit.
Seorang warga sekitar pantai ini, mengatakan, bahwa dulunya sebelum Tsunami, permukaan pantai ini tidak seperti ini, disini banyak tumbuh pohon Waru, tetapi setelah Tsunami semua jadi berubah, pohon-pohon yang dulunya indah serta rindang, kini semua pada mati dan hanya tinggal rantingnya saja, itulah kuasa Tuhan, kapan saat di beri dan kapan lagi saat di ambil, kita semua tidak pernah tahu, ujarnya.
Serombongan pengurus Bulan Sabit Merah (BSM) Malaysia, yang mendatangi pinggir pantai ini, untuk meresmikan bantuannya kepada warga yang di timpa musibah Tsunami
di daerah itu juga terpesona. Meski hanya tinggal bekasnya saja.
Seorang warga sekitar pantai ini, mengatakan, bahwa dulunya sebelum Tsunami, permukaan pantai ini tidak seperti ini, disini banyak tumbuh pohon Waru, tetapi setelah Tsunami semua jadi berubah, pohon-pohon yang dulunya indah serta rindang, kini semua pada mati dan hanya tinggal rantingnya saja, itulah kuasa Tuhan, kapan saat di beri dan kapan lagi saat di ambil, kita semua tidak pernah tahu, ujarnya.
Serombongan pengurus Bulan Sabit Merah (BSM) Malaysia, yang mendatangi pinggir pantai ini, untuk meresmikan bantuannya kepada warga yang di timpa musibah Tsunami
di daerah itu juga terpesona. Meski hanya tinggal bekasnya saja.
Malah beberapa orang di antara mereka sempat
bercoloteh “Indah sangat, tapi dah teruk pinggirnya”,
tak
ayal,jepretan kamera dari beberapa wartawan asal negeri jiran itupun di tujukan
ke arah pantai ini. Karena dalam rombongan itu juga ada di ikutkan beberapa wartawan seperti
dari Koran Utusan Malaysia dan lain-lainnya.
Kini pantai di bibir selat malaka itu dengan gulungan ombak kecil masih terus beriak tenang. Sekarang hanya menyisakan kenangan indah, tentang pesonanya dan tawa kecil anak nelayan serta hiasan pepohonan yang rindang di pasir putih bersih, semua berjalan sebagaimana kehendak sang Khalik, tentu ada hikmah terbesar dari semua kejadian ini.(Muchlis*)
Kini pantai di bibir selat malaka itu dengan gulungan ombak kecil masih terus beriak tenang. Sekarang hanya menyisakan kenangan indah, tentang pesonanya dan tawa kecil anak nelayan serta hiasan pepohonan yang rindang di pasir putih bersih, semua berjalan sebagaimana kehendak sang Khalik, tentu ada hikmah terbesar dari semua kejadian ini.(Muchlis*)
Jumat, 02 Agustus 2013
Mesjid Tua Yang Terabaikan Sejarahnya
"Di Pugar, Agar Terpelihara Sejarahnya"
Pada suatu tempat
di kawasan Gampong Mns.Mesjid, Muara Dua, Kota Lhoksewumawe, tepatnya,
terletak di tengah-tengah desa yang berpenduduk lebih kurang 8.000 jiwa itu.
Ada sebuah kawasan yang konon dulunya didaerah tersebut, merupakan sebuah
daerah yang maju,yang banyak di jadikan tempat persinggahan para pedagang dari
berbagai daerah pada masa lalu.
Dengan sungai yang membentang dari Kuala Meuraksa hingga
ke arah Ujong Blang, Kecamatan Banda Sakti,
yang sekarang terlihat daerah tersebut sudah menjadi pertambakan warga sekitar, di tambah lagi di lalui oleh sebuah anak sungai, yang airnya dari arah
perbukitan sekitarnya menuju ke sungai Cunda, Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Menambah kemajuan akan kota masa lalu yang indentik di pinggir perairan.
Nah, untuk menandakan ada sebuah pusat keramaian pada masa lalu, di daerah tersebut ada sebuah bangunan mesdjid tua yang kini hanya tinggal bekasnya saja. Yaitu, berupa bangunan beton dengan dua tingkat yang mempunyai tinggi sekitar dua meter.
perbukitan sekitarnya menuju ke sungai Cunda, Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Menambah kemajuan akan kota masa lalu yang indentik di pinggir perairan.
Nah, untuk menandakan ada sebuah pusat keramaian pada masa lalu, di daerah tersebut ada sebuah bangunan mesdjid tua yang kini hanya tinggal bekasnya saja. Yaitu, berupa bangunan beton dengan dua tingkat yang mempunyai tinggi sekitar dua meter.
Bangunan tersebut berbentuk kubus yang mempunyai ukuran sekitar 15 X 15 Meter persegi, dengan ruang di tengahnya, seperti bentuk sebuah benteng pertahanan pada masa lalu.
Tetapi sangat di sayangkan tiada sebuah catatan sejarah pun tentang keberadaan mesjid tersebut, kapan dibangun dan pada masa siapa. Saat ditanyakan kepada beberapa warga sekitar yang sudah berusia lanjut, tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan mesjid tersebut di bangun, rata-rata mereka menjawab,bangunan mesjid tersebut sudah demikian adanya sejak dari saya lahir, jawab mereka.
Konon Mesjid tersebut, mempunyai satu tiang utama dengan ukuran besar di tambah dengan tiang-tiang kecil, serta kabarkan bahwa puncak mesjid tersebut berbentuk sebuah belanga besi, yang di kenal dalam bahasa Aceh dengan nama Beulangeung Beuso, yang menjadi puncak atau kubahnya.
Namun ada yang mengatakan bahwa bentuk mesjid tersebut, lebih mirip dengan mesjid lama, yang ada di daerah Beuracan Mereudu Aceh Pidie. Yang di kenal dengan nama Mesjid Madinah. Tetapi tidak ada yang tahu secara pasti apa nama mesjid yang hanya tinggal bekasnya saja ini.
Bila kita melihat dari bahan bangunan yang di gunakan, yang hanya terbuat dari susunan batu karang tebal dan di plaster itu serta mempunyai pintu masuk ukuran kecil, dengan ruang di tengahnya yang agak menurun kebawah, yang lebih mirip seperti benteng ini merupakan bangunan ciri khas suatu zaman di mana banyak terjadi peperangan pada masa tersebut.
Konon juga bahwa mesjid tersebut pernah di renovasi kembali pada masa lalu.
Tetapi sangat di sayangkan tiada sebuah catatan sejarah pun tentang keberadaan mesjid tersebut, kapan dibangun dan pada masa siapa. Saat ditanyakan kepada beberapa warga sekitar yang sudah berusia lanjut, tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan mesjid tersebut di bangun, rata-rata mereka menjawab,bangunan mesjid tersebut sudah demikian adanya sejak dari saya lahir, jawab mereka.
Konon Mesjid tersebut, mempunyai satu tiang utama dengan ukuran besar di tambah dengan tiang-tiang kecil, serta kabarkan bahwa puncak mesjid tersebut berbentuk sebuah belanga besi, yang di kenal dalam bahasa Aceh dengan nama Beulangeung Beuso, yang menjadi puncak atau kubahnya.
Namun ada yang mengatakan bahwa bentuk mesjid tersebut, lebih mirip dengan mesjid lama, yang ada di daerah Beuracan Mereudu Aceh Pidie. Yang di kenal dengan nama Mesjid Madinah. Tetapi tidak ada yang tahu secara pasti apa nama mesjid yang hanya tinggal bekasnya saja ini.
Bila kita melihat dari bahan bangunan yang di gunakan, yang hanya terbuat dari susunan batu karang tebal dan di plaster itu serta mempunyai pintu masuk ukuran kecil, dengan ruang di tengahnya yang agak menurun kebawah, yang lebih mirip seperti benteng ini merupakan bangunan ciri khas suatu zaman di mana banyak terjadi peperangan pada masa tersebut.
Konon juga bahwa mesjid tersebut pernah di renovasi kembali pada masa lalu.
Masih di dalam komplek mesjid tersebut ada sebuah
bangunan Meunasah (surau). Yang juga bangunan lama, walaupun tidak se tua mesjid tua ini, namun bangunan meunasah
tersebut masih utuh dan papan alasnya masih kuat, serta pernah di jadikan balai pengajian oleh warga,
maka tidak salah, apabila nama desa di daerah ini di namakan Meunasah Mesjid, karena di samping Mesjid ada Meunasah.
Drs.Tgk.Zulkifli Ibrahim, Imum syik Mesjid Al Hikmah Cunda kepada wartawan Koran ini mengatakan, bahwa cikal bakal mesjid Alhikmah Cunda adalah dari mesjid tua ini, karena jumlah jamaah makin banyak, dan tidak memungkinkan lagi menampung jamaah shalat, maka di pindahkan ke mesjid ini, mengenai tahun di pindahkannya mesjid ini sudah tidak ingat lagi, akunya.
Kini lokasi tempat berdirinya mesjid tersebut merupakan sebuah komplek pekuburan warga sekitar, tetapi anehnya ada beberapa kuburan yang dekat dengan tembok bangunan mesjid tersebut batu nisannya, (batu kali) berukuran lebih besar dari nisan lainnya.
Sangat di sayangkan memang, bila Mesjid yang terletak di wilayah pemko Lhokseumawe ini kurang di ketahui sejarah dan keberadaanya masyarakat luar, bahkan yang lebih menyedihkan lagi, selama ini tidak ada perhatian dari pihak yang berkompeten, dalam hal ini pemerintah Pemko Lhokseumawe atau Dinas teknisnya.
Drs.Tgk.Zulkifli Ibrahim, Imum syik Mesjid Al Hikmah Cunda kepada wartawan Koran ini mengatakan, bahwa cikal bakal mesjid Alhikmah Cunda adalah dari mesjid tua ini, karena jumlah jamaah makin banyak, dan tidak memungkinkan lagi menampung jamaah shalat, maka di pindahkan ke mesjid ini, mengenai tahun di pindahkannya mesjid ini sudah tidak ingat lagi, akunya.
Kini lokasi tempat berdirinya mesjid tersebut merupakan sebuah komplek pekuburan warga sekitar, tetapi anehnya ada beberapa kuburan yang dekat dengan tembok bangunan mesjid tersebut batu nisannya, (batu kali) berukuran lebih besar dari nisan lainnya.
Sangat di sayangkan memang, bila Mesjid yang terletak di wilayah pemko Lhokseumawe ini kurang di ketahui sejarah dan keberadaanya masyarakat luar, bahkan yang lebih menyedihkan lagi, selama ini tidak ada perhatian dari pihak yang berkompeten, dalam hal ini pemerintah Pemko Lhokseumawe atau Dinas teknisnya.
Mungkin juga mereka tidak pernah tahu, bahwa di daerahnya ada sebuah situs bersejarah
di daerahnya,
karena di disibukkan oleh
program-program pembangunan
ke depan. Sehingga lupa
pada bangunan masa lalu, yang
telah mengantar bangsa ini pada kemajuan.Padahal ini merupakan asset daerah
yang sangat berharga
jika dinilai sejarah, serta merupakan titipan anak cucu kita ke depan.(Muchlis*)
Langganan:
Postingan (Atom)